Habib Umar bin Hafidz

Tarim, Yaman.

Habib Segaf Baharun

Ponpes Dalwa.

Habib Baharun

Ponpes Dalwa.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 26 Februari 2019

Kajian Islami


Sambut Maulid, Habib Umar bin Hafidz Ajak Untuk Teladani Rasulullah

PESAN SAYYIDIL HABIB UMAR BIN HAFIDZ MEYAMBUT DATANGNYA BULAN MAULID (RABI’UL AWWAL) 1438 H



Segala puji bagi Allah Dzat Yang Maha Hidup dan Berdiri yang telah mengutus kepada kita Nabinya yang terpilih, seorang Nabi yang Ma’shum dengan cahaya-cahaya kehidupan yang baik, yang dengannya bisa meningkatkan derajat kemuliaan.

Ya Allah limpahkan shalawat dan salam, muliakan dan agungkan, kepada hambaMu yang terpilih Sayyidina Muhammad yang Engkau telah berfirman dengannya kepada kami dan Engkau berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah panggilan untuk Allah dan RasulNya ketika mengajak kalian dengan apa kalian dihidupkan” dan shalawat tersebut juga (limpahkan) kepada keluarganya, para sahabat, dan orang-orang yang berjalan di jalannya dengan sungguh-sungguh dan ikhlas dan kepada kami pula bersama mereka, dengan rahmatMu Waai Dzat Yang Maha Merahmati.

Adapun setelahnya,sesungguhnya wajib untuk menyambut bulan Rabi’ul Awwal dan hendaknya kita masuk di hari-hari dan malamnya dengan meminta sungguh-sungguh meraih makna kehidupan yang baik yang Nabi telah diutus dengannya ini, Nabi yang terpilih yang telah mengajak kami untuk makna apa kami dihidupkan kemuliaan tersebut, dan kekhususan yang dimilikinya, serta keistimewaannya kehidupan di dalam ruh, dan di hati, kehidupan melaksanakan ajaran, serta akhlak dan semua perangai yang agung nan tinggi yang mana telah dilupakan oleh orang-orang kehidupan tersebut dengan mengganti seseorang yang seharusnya diteladani dan mengikuti seseorang yang tidak patut untuk diikuti dan diteladani dari sisi peneladanan dan keridhoan Allah subhanahu wa ta’ala. 

Maka kita hidupkan dan kita cari hakikat kehidupan ini dan rahasia kehidupan, dan tujuan hidup dan kehidupan yang baik yang Allah telah menjanjikannya kepada orang yang beriman dan beramal baik dari laki-laki atau perempuan, yaitu dengan memperbaharui hubungan dengan pemilik Hari Peringatan ini. Hari Peringatan Kelahiran seperti di bulan yang di dalamnya banyak kebahagiaan dan dengannya akan naik bagi mereka yang memiliki hubungan dan mempunyai keterikatan dengan Nabi dan telah bersabda Rasulullah shollallohu ‘alaih wa alihi wa shohbihi wa sallam di dalam riwayat Imam Muslim ketika ditanya tentang kehidupan puasanya di hari Senin, Beliau menjawab: “Hari tersebut adalah hari dimana aku dilahirkan”

Bagi kalian orang yang memperingati makhluk agung ini, carilah hakikat kehidupan ini, dan perhatikan dimanakah datangnya pengaruh jelek dalam kehidupan kalian dan kehidupan keluarga kalian, anak-anak kalian, dan sahabat-sahabat kalian untuk tidak mengganti peneladanan kepada seorang yang telah diridhoi menjadi meneladani orang yang tidak diridhoi, dan untuk mencari tempat sandaran menuju teladan yang baik yaitu Baginda Muhammad shollallohu ‘alaihi wa alihi wa shohbihi wa sallam yang dengannya akan menghasilkan meraih kecintaan dari Allah Dzat Yang Maha Mulia nan Tinggi yang berfirman kepada mereka dan kepada kita semua, “Katakanlah Wahai Muhammad jika kalian cinta kepada Allah maka ikutialh aku (Baginda Muhammad) niscaya Allah akan mencintai kalian, dan akan mengampuni dosa kalian”.

Alangkah bahagianya cinta yang datang dari Allah, jika Dia mencintai kita, niscaya kebaikan dunia dan akhirat akan diberikan kepada kita, dan setiap kejelekan kepada kita akan dijauhkan dan dihilangkan. Dan begitulah apa yang akan diterima bagi orang yang mencintai Allah Dzat Yang Maha Mulia nan Tinggi.

Apakah akan hilang semangat kita di dalam menyambut bulan yang dimuliakan ini untuk mulai mengikat dan menyambungkan kepdaa orang yang apabila kita menuruti ajakannya akan mendapatkan kehidupan hati kita, dan akan hidup jiwa-jiwa kita dengan kehidupan yang tinggi derajatnya dan juga agung, yang (kehidupan tersebut) tidak berbahaya kepada keluarnya ruh dari jasad, dan berpindahnya manusia dari alam dunia ke alam barzakh, dan dari alam barzakh hingga hari kiamat, bahkan akan berpindah dari alam kiamat menuju kehidupan surga yang mulia.

Ya Allah, persiapkan kami menuju kehidupan tersebut, dan tuntun kami menuju jalan yang beruntung dan selamat, dan jadikan kami termasuk golongan hambaMu yang sholeh, hamba yang telah diberi petunjuk olehMu, dan perbaiki urusan umat ini, dan bangunkan mereka dari kelalaiannya, dan kuatkan hubungan mereka dengannya (Baginda Muhammad), sehigga menjadikan tetapnya aqidah di jalannya (Baginda Muhammad), dan menjadikan hati ini penuh dengan kecintaan kepadanya (Baginda Muhammad), dan semoga kita dimasukan ke dalam golongannya (Baginda Muhammad), dan kelak dibangkitkan bersamanya, di dalam golongan dan kelompoknya (Baginda Muhammad), dengan RahmatMu Wahai Dzat Yang Maha Merahmati, dan segala puji hanyalah milik Allah semata.


اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى اَصْحَابِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى اَنْصَارِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى اَزْوَاجِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى اَتْبَاعِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى ذُرِّيَّةِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا


(Video diunggah oleh dan dialihabahasakan dari tulisan Majelis Alwafa Bi’Ahdillah Indonesia, www.alafaindonesia.com)

Hukum Tahlilan dan Sholawatan


Dalil dan Hujjah Susunan Bacaan Qur’an dalam Tahlil (Tahlilan)



Bacaan Qur’an Surat al-Fatihah, al-Ikhlas dan al-Falaq, dan an-Nas dalam Tahlil (Tahlilan)

Surat al-Fatihah, al-Ikhlas dan al-Mu’awwidzatain bersumber dari fatwa Imam Ahmad:
( وَتُسْتَحَبُّ قِرَاءَةٌ بِمَقْبَرَةٍ ) قَالَ الْمَرُّوذِيُّ : سَمِعْتُ أَحْمَدَ يَقُولُ : إذَا دَخَلْتُمْ الْمَقَابِرَ فَاقْرَءُوا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ ، وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ، وَاجْعَلُوا ثَوَابَ ذَلِكَ إلَى أَهْلِ الْمَقَابِرِ ؛ فَإِنَّهُ يَصِلُ إلَيْهِمْ ، وَكَانَتْ هَكَذَا عَادَةُ الْأَنْصَارِ فِي التَّرَدُّدِ إلَى مَوْتَاهُمْ ؛ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ (مطالب أولي النهى في شرح غاية المنتهى – ج 5 / ص 9)

“Dianjurkan baca al-Quran di Kubur. Ahmad berkata: ”Jika masuk kubur bacalah Fatihah, al-Ikhlas, al-Falaq dan an-Nas, hadiahkan untuk ahli kubur, maka akan sampai. Inilah kebiasaan sahabat Anshor yang bolak-balik kepada orang yang meninggal untuk membaca al-Quran” (Mathalib Uli an-Nuha 5/9).
Bacaan Qur’an Permulaan dan Akhir dalam Tahlil (Tahlilan)
Awal dan Akhir al-Baqarah bersumber dari hadits hasan:                                                  
عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الْعَلاَءِ بْنِ اللَّجْلاَجِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ لِي أَبِي يَا بَنِيَّ إِذَا أَنَا مُتُّ فَأَلْحِدْنِي فَإِذَا وَضَعْتَنِي فِي لَحْدِي فَقُلْ بِسْمِ اللهِ وَعَلَى مِلَّةِ رَسُولِ اللهِ ثُمَّ سِنَّ عَلَيَّ الثَّرَى سِنًّا ثُمَّ اقْرَأْ عِنْدَ رَأْسِي بِفَاتِحَةِ الْبَقَرَةِ وَخَاتِمَتِهَا فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ ذَلِكَ (رواه الطبراني في الكبير رقم 15833)

“Dari Abdurrahman bin ‘Ala’ dari bapaknya, bahwa: Bapakku berkata kepadaku: Wahai anak-anakku Jika aku mati, maka buatkan liang lahat untukku. Setelah engkau masukkan aku ke liang lahat, bacalah: Dengan nama Allah dan atas agama Rasulullah. Kemudian ratakanlah tanah kubur perlahan, lalu bacalah di dekat kepalaku permulaan dan penutup surat al-Baqarah. Sebab aku mendengar Rasulullah bersabda demikian” (HR al-Thabrani No 15833).
Al-Hafidz al-Haitsami berkata:
وَرِجَالُهُ مُوَثَّقُوْنَ (مجمع الزوائد ومنبع الفوائد للحافظ الهيثمي 3 / 66)
“Perawinya dinilai sebagai orang-orang terpercaya” (Majma’ al-Zawaid III/66).
Bacaan Qur’an Surat Yasin dalam Tahlil (Tahlilan)
Surat Yasin bersumber dari Ijtihad sebagian ulama:
وَقَالَ الْقُرْطُبِي فِي حَدِيْثِ إقْرَؤُوْا عَلَى مَوْتَاكُمْ يس هَذَا يَحْتَمِلُ أَنْ تَكُوْنَ هَذِهِ الْقِرَاءَةُ عِنْدَ الْمَيِّتِ فِي حَالِ مَوْتِهِ وَيَحْتَمِلُ أَنْ تَكُوْنَ عِنْدَ قَبْرِهِ قُلْتُ وَبِاْلأَوَّلِ قَالَ الْجُمْهُوْرُ كَمَا تَقَدَّمَ فِي أَوَّلِ الْكِتَابِ وَبِالثَّانِي قَالَ إبْنُ عَبْدِ الْوَاحِدِ الْمَقْدِسِي فِي الْجُزْءِ الَّذِي تَقَدَّمَتِ اْلإِشَارَةُ إِلَيْهِ (شرح الصدور للحافظ السيوطي 1-304)
“al-Qurthubi berkata mengenai hadis: ‘Bacalah Yasin di dekat orang-orang yang meninggal’ bahwa Hadis ini bisa jadi dibacakan di dekat orang yang akan meninggal dan bisa jadi yang dimaksud adalah membacanya di kuburnya. Saya (al-Suyuthi) berkata: Pendapat pertama disampaikan oleh mayoritas ulama. Pendapat kedua oleh Ibnu Abdil Wahid al-Maqdisi dalam salah satu kitabnya” (Syarh al-Shudur I/304).

Oleh: Ustadz Muhammad Ma’ruf Khozin, PCNU Surabaya.


Selasa, 19 Februari 2019

Kajian Ahlu Sunnah Wal Jamaah

Memahami Tawassul dan Hukumnya
Oleh Habib Novel bin Muhammad Alaydrus
Majlis Ar-Riyadh

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ، اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَصَلَّى اللّٰهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ وَآلِهِ الطَّاهِرِيْنَ وَصَحَابَتِهِ أَجْمَعِيْنَ
Kita sering mendengar seorang muslim berdoa dengan mengucapkan beberapa kalimat berikut, “Ya Allah, berkat waliMu Fulan, berilah aku….” atau ” Ya Allah, dengan kebesaran Fulan, jadikanlah aku….”, atau “Ya Allah, berkat puasaku, mudahkanlah…” atau “Ya Allah, berkat shalawat yang kami baca, anugerahilah aku…”, atau “Ya Allah, berkat waliMu yang dimakamkan di kuburan ini, selamatkanlah aku…”, dan lain sebagainya.
Semua yang tertera di atas merupakan contoh Tawassul. Yang menjadi pertanyaan bagaimana sebenarnya hukum tawassul itu sendiri?
Tawassul artinya menjadikan sesuatu sebagai perantara dalam usahanya untuk memperoleh kedudukan yang tinggi di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala atau untuk mewujudkan keinginan dan cita-citanya. Sedangkan wasilah adalah sesuatu yang dijadikan sebagai perantara dalam bertawassul. Dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala mewahyukan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوْا اتَّقُوا اللّٰـهَ وَابْتَغُوْا إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُوْا فِيْ سَبِيْلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ﴿سورة المائدة:٣٥﴾
“Hai orang-orang yang berimana, patuhlah kepada Allah, dan carilah wasilah kepadaNya, dan berjuanglah di jalan Allah, supaya kamu jadi beruntung” (Quran Surat Al-Maidah: 35).
Sesuatu dapat dijadikan sebagai wasilah (perantara) jika ia dicintai dan diridhai Allah Ta’ala.
Berdoa dengan bertawassul artinya memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menyebutkan sesuatu yagn dicintai dan diridhai Allah. Contohnya, jika seseoarang ingin mendapatkan ampunan Allah, kemudian dia berdoa demikian, “Ya Allah, berkat namaMu Ar-Rahman dan Al-Ghaffur, ampunilah segala kesalahanku” atau “Ya Allah, berkat kebesaran nabiMu Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, mudahkanlah segala urusanku yang Engkau ridhai”.
Seseorang yang bertawassul berarti mengaku bahwa dirinya penuh kekurangan. Dengan segala kekurangannya tersebut, dia sadar bahwa doanya sulit dikabulkan. Oleh karena itu, ia pun meminta syafa’at kepada sesuatu atau seseorang yang -menurut prasangka baiknya- dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah hakikat tawassul.
Secara garis besar, doa tawassul dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu tawassul dengan amal shaleh sendiri dan tawassul dengan amal shaleh orang lain. Para ulama sepakat bahwa tawassul dengan amal shaleh sendiri seperti shalat, puasa, membaca Al-Quran, sedekah, dan lain sebagainya adalah bagian dari ajaran Islam. Dalilnya adalah cerita tentang tiga orang yang terjebak dalam sebuah gua dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Sayyidina Abdullah bin Umar radhiyallohu ‘anhu (Hadits Riwayat Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Kalau bertawassul dengan amal shaleh sendiri diperbolehkan, lalu bagaimana dengan tawassul yang bukan dengan amal kita sendiri melainkan dengan orang lain atau nama seseorang seperti perkataan, “Ya Allah, berkat Nabi Muhammad…” atau “Ya Allah, berkat Imam Syafi’i…”  atau “Ya Allah, berkat para Rasul dan waliMu…”, dan lain-lain, bagaimanakah hukumnya?
Bagi orang-orang yang tidak memahami alasan mengapa seseorang bertawassul dengan orang lain akan menuduhnya telah berbuat syirik. Tuduhan ini tidak hanya salah tetapi sangat berbahaya. Saudaraku, perlu kita ketahui bahwa seseorang yang bertawassul dengan orang lain sebenarnya ia sedang bertawassul dengan amal shalehnya sendiri. Bagaimana bisa?
Ketika seseorang bertawassul dengan orang lain, pada saat itu ia berprasangka baik kepadanya dan meyakini bahwa orang tersebut adalah seorang yang shaleh yang mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia menjadikan orang tersebut sebagai wasilah (perantara) karena ia mencintainya. Dengan demikian sebenarnya ia sedang bertawassul dengan cintanya kepada orang tersebut. Ketika seseorang mengucapkan, “Ya Allah, demi kebesaran RasulMu Muhammad Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam…” berarti ia sedang bertawassul dengan cintanya kepada Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam. Atau ada orang yang berkata, “Ya Allah, berkat Imam Syafi’i…” berarti ia sedang bertawassul dengan cintanya kepada Imam Syafi’i rahimahullah. Kita semua tahu bahwa cinta kepada Allah, cinta kepada RasulNya, dan cinta kepada orang-orang yang shaleh merupakan amal yang sangat mulia.
Ingatkah anda akan cerita seorang Badui yang datang menemui Rasulullah Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam menanyakan perihal kiamat? Dalam Shahih Bukhari diceritakan bahwa seorang Badui datang menemui Rasulullah dan berkata, “Ya Rasulullah, kapan kiamat tiba?”.
“Apa yang kamu pesiapkan untuk menghadapinya?”, tanya Rasulullah Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam.
“Aku tidak mempersiapkan apa-apa, hanya saja aku mencintai Allah dan RasulNya”, jawab Badui tersebut.
Rasulullah lantas bersabda, “Sesungguhnya engkau akan bersama dengan yang engkau cintai”. (Hadits Riwayat Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan Ahmad).
Dengan demikian, setiap orang yang bertawassul dengan orang lain berarti ia sedang bertawassul dengan amal shalehnya sendiri yaitu cinta. Sehinga tidak ada bedanya jika orang yang ia jadikan sebagai wasilah (perantara) tersebut masih hidup atau telah meninggal dunia. Sebab, kematian tidak dapat membatasi cinta seseorang. Cinta kita kepada para Rasul dan kaum Sholihin tidak hanya ketika mereka masih hidup.
Disamping itu, tawassul dengan orang lain baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, para Sahabat Nabi, dan kaum Sholihin. Di bawah ini akan kami beberapa contoh yang insya Allah bermanfaat.
Tawassul Nabi Muhamamad Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam dengan Orang-orang yang Berdoa
Abu Said Al-Khudri radhiyallohu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa keluar dari rumahnya dan menuju masjid untuk menunaikan shalat, kemudian membaca doa berikut:
اللّٰهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِيْنَ عَلَيْكَ ، وَأَسْأَلُكَ بِحَقِّ مَمْشَايَ هَذَا ، فَإِنِّي لَمْ أَخْرُجْ أَشَرًا وَلاَ بَطَرًا ، وَلاَ رِيَآءً وَلاَ سُمْعَةً ، وَخَرَجْتُ اِتِّقَاءَ سُخْطِكَ ، وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِكَ ، فَأَسْأَلُكَ أَنْ تُعِيْذَنِيْ مِنَ النَّارِ ، وَأَنْ تَغْفِرَ لِيْ ذُنُوبِيْ ، إِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu dengan kemuliaan semua orang yang memohon kepadaMu. Dan aku memohon kepadaMu dengan berkat perjalananku ini. Sesungguhnya aku tidak keluar (menuju Masjid) dengan sikap angkuh, sombong, riya’ ataupun sum’ah. Aku keluar (menuju Masjid) demi menghindari murkaMu dan mengharapkan ridhaMu. Oleh karena itu, kumohon Engkau berkenan melindungiku dari siksa Neraka, dan mengampuni semua dosaku. Sesungguhnya, tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau.” (Barangsiapa yang membaca doa ini), maka Allah menyambutnya dengan wajahNya dan 70 ribu malaikat memohonkan ampun untuknya (Hadits Riwayat Ibnu Majah dan Ahmad).
Sejumlah ulama besar dalam Ilmu Hadits menyatakan hadits di atas adalah hadits shahih dan hasan, diantaranya adalah Ibnu Khuzaimah, Mundziri, Abul Hasan (guru Mundziri), Al-‘Iraqi, Ibnu Hajar, Syarafuddin Ad-Dimyathi, Abdul Ghani Al-Maqdisi, dan Abi Hatim (Lihat: Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani, Mafahim Yajibu An-Tushah-hah, cet. X, Darul Auqaf Was Syu’un Al-Islamiyyah, Dubai, 1995, hal. 147).
Dalam hadits di atas disebutkan dengan jelas bahwa Nabi Muhamamd Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam bertawassul dengan kemuliaan semua orang yang berdoa memohon kepada Allah, baik mereka yang masih hidup, telah meninggal dunia, maupun yang belum lahir di muka bumi ini.
Tawassul Nabi Adam ‘Alaihis Salam dengan Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam
Dalam sebuah riwayat, Sayyidina Umar bin Khattab radhiyallohu ‘anhu menyebutkan bahwa Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam bersabda:
لَمَّا اقْتَرَفَ آدَمُ الْخَطِيْئَةَ قَالَ: يَا رَبِّ أَسْأَلُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ لَمَا غَفَرْتَ لِيْ فَقَالَ اللّٰهُ يَا آدَمُ, وَكَيْفَ عَرَفْتَ مُحَمَّدًا وَلَمْ أخْلَقُهُ؟ قَالَ: يَا رَبِّ لأنَّـكَ لَمَّا خَلَقْتَنِيْ بِيَدِكَ وَنَفَخْتَ فِيَّ مِنْ رُوْحِكَ ، رَفَعْتُ رَأْسِيْ فَرَأَيـْتُ عَلَى قَوَائِمَ الْعَرْشِ مَكْتُـوْبًا: لآ إِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ ، فَعَلِمْتُ اَنَّكَ لَمْ تُضِفْ اِلىٰ اِسْمِكَ إِلاَّ أَحَبَّ الْخَلْقِ إِلَيْكَ ، فَقَالَ اللّٰهُ صَدَقْتَ يَا آدَمُ اِنَّهُ لَأَحَبَّ الْخَلْقِ إِلَيَّ اُدْعُنِيْ بِحَقِّهِ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكَ ، وَلَوْ لاَ مُحَمَّدٌ مَا خَلَقْتُكَ
“Ketika Adam berbuat kesalahan, beliau berkata, ‘Duhai Tuhanku, aku memohon kepadaMu dengan kemuliaan Muhamamd agar Engkau mengampuniku’. Allah pun berkata, ‘Hai Adam, bagaimana kau dapat mengenal Muhammad sedangkan ia belum Ku ciptakan?’. Adam menjawab, ‘Duhai Tuhanku, ketika Engkau menciptakanku dengan TanganMu dan Engkau tiupkan kepadaku dari RuhMu, kutengadahkan kepalaku dan kulihat pada tiang-tiang ‘Arsy tercantum tulisan yang berbunyi La Ilaha Illalloh Muhammadun Rasulullah. Aku pun tahu bahwa tidak mungkin Engkau sandarkan sebuah nama dengan namaMu, kecuali ia adalah makhluk yang paling Engkau cintai. Allah berkata,”Kau benar hai Adam, sesungguhnya dia (Nabi Muhammad) adalah makhluk yang paling Kucintai. Berdoalah kepadaKu dengan (bertawassul dengan) kemuliaannya, sesungguhnya aku telah mengampunimu. Dan andaikata bukan karena Muhammad, Aku tidak akan menciptakanmu”. (Hadits Riwayat Hakim)


Beberapa ulama besar dalam Ilmu Hadits menyatakan hadits di atas adalah hadits shahih, diantaranya: Imam Hakim, Al-Hafidz As-Suyuti, Qasthalani, Zarqani, As-Subki, Al-Hafidz Al-Haitsami.
Dalam hadits di atas disebutkan dengan jelas bahwa Nabi Adam ‘Alaihis Salam bertawassul dengan Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam bahkan jauh hari sebelum beliau Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Tawassul Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam dengan Seluruh Nabi
Ketika Ibu Ali bin Abi Thalib radhiyallohu ‘anhu meninggal dunia yang bernama Fatimah binti Assad radhiyallohu ‘anha meninggal dunia, Rasulullah Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam memberikan pakaiannya untuk dijadikan kain kafan. Kemudian beliau memerintahkan Usamah bin Zaid, Abu Ayyub Al-Anshari, Umar bin Khattab dan seorang pemuda berkulit hitam untuk menggali lubang kubur. Mereka pun melaksanakan perintah Rasulullah Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam. Namun, ketika hendak menggali liang lahat, Rasulullah Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam memerintahkan mereka untuk berhenti. Kemudian dengan kedua tangannya yang mulia, beliau sendiri yang menggali liang lahat dan membuang tanahnya. Setelah selesai, beliau berbaring di dasar kubur dan kemudian berkata:

اَللّٰهُ الَّذِيْ يُحْيِىْ وَيُمِيْتُ وَهُوَ حَيٌّ لَا يَمُوْتُ اِغْفِرْ لِأُمِّيْ فَاطِمَةَ بِنْتِ أَسَدٍ وَلَقِّنْهَا حُجَّتَهَا 
وَوَسِّعْ عَلَيْهَا مَدْخَلَهَا بِحَقِّ نَبِيِّكَ وَالْأَنْبِيَاءِ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِيْ فَإِنَّكَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ

“Allah adalah yang Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan dan Dia Maha Hidup dan tidak akan pernah mati. Ampunilah ibuku Fatimah binti Asad dan bimbinglah ia untuk mengucapkan hujjahnya serat luaskanlah kuburnya, dengan hak (kemuliaan) NabiMu dan para Nabi sebelumku. Karena sesungguhnya Engkau Maha Pengasih dari semua yang berjiwa kasih”.
Setelah itu Rasulullah Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam menshalatkan jenazahnya dan memakamkannya dibantu oleh Abbas dan Abu Bakar Ash-Shiddiq (Hadits Riwayat Thabrani).
Menurut Al-Hafidz Al-Ghimari, hadits di atas merupakan hadits hasan, sedangkan menurut Ibnu Hibban adalah hadits shahih.
Dalam hadits di atas disebutkan dengan jelas bahwa Rasulullah Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam bertawassul dengan diri beliau sendiri dan dengan semua Nabi sebelum beliau, yang semuanya telah meninggal dunia kecuali Nabi Isa ‘Alaihis Salam.
Tawassul Para Sahabat dengan Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam
Dalam Sunan Tirmidzi disebutkan bahwa Utsman bin Hunaif radhiyallohu ‘anhu berkata, “Ada seorang lelaki tuna netra datang menemui Nabi Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam dan meminta beliau untuk mendoakannya agar dapat melihat kembali. Pada saat itu Rasulullah Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam memberikan dua pilihan kepadanya, yaitu didoakan sembuh atau bersabar dengan kebuataanya tersebut. Tetapi lelaki itu bersikeras minta didoakan agar dapat melihat kembali. Rasulullah Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam kemudian memerintahkannya untuk berwudhu dengan baik dan membaca doa berikut:


اَللّٰهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ إِنِّيْ تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلٰى رَبِّيْ 

فِيْ حَاجَتِيْ هَذِهِ لِتُقْضَى لِيْ اَللّٰهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon dan berdoa kepadaMu dengan (bertawassul dengan) NabiMu Muhammad, Nabi yang penuh kasih sayang. (Duhai Rasul) Sesungguhnya aku telah bertawajjuh kepada Tuhanku dengan (bertawassul dengan)-mu agar hajatku ini terkabul. Ya Allah, terimalah syafaat beliau untukku” (Hadits Riwayat Tirmidzi dan Abu Dawud).
Imam Tirmidzi menyatakan hadits ini sebagai hadits hasan shahih. Imam Hakim dan Adz-Dzhabi juga menyatakan hadits ini sebagai hadits shahih.
Saudaraku, dalam hadits di atas Rasulullah Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam mengajarkan cara kita bertawassul dengan beliau. Tawassul seperti ini tidak hanya berlaku ketiak beliau masih hidup, akan tetapi juga dapat dilakukan setelah wafatnya beliau Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam. Buktinya sejumlah Sahabat Nabi menggunakan tawassul ini sepeninggal Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam. Bahkan mereka mengajarkannya kepada orang lain. Ketika menyebutkan hadits di atas, Imam Thabrani menceritakan bahwa ada seorang lelaki yang seringkali mengunjungi Khalifah Utsman bin Affan radhiyallohu ‘anhu untuk menyampaikan kepentingannya. Tetapi Khalifah Utsman bin Affan radhiyallohu ‘anhu tidak sempat memperhatikannya. Ketika bertemu dengan Utsman bin Hunaif, lelaki itu menceritakan permasalahan yang ia hadapi. Utsman bin Hunaif kemudian memerintahkan lelaki itu untuk berwudhu, mengerjakan shalat 2 rakaat di masjid, membaca doa di bawah ini dan kemudian mendatanginya untuk diajak pergi menemui Sayyidina Utsman bin Affan. Inilah doanya:

اَللّٰهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ يَا مُحَمَّدُ إِنِّيْ اَتَوَجَّهُ بِكَ إِلٰى رَبِّكَ رَبِيْ جَلَّ وَعَزَّ فَيَقْضِيْ لِيْ حَاجَتِيْ

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon dan bertawajjuh kepadaMu dengan (bertawassul dengan) Nabi kami Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, Nabi yang penuh kasih. Duhai Muhammad, sesungguhnya dengan bertawassul denganmu, aku bertawajjuh kepada Allah, Tuhanmu dan Tuhanku yang Maha Agung dan Maha Mulia agar Ia mewujudkan hajatku”.
Setelah melaksanakan saran Utsman bin Hunaif, lelaki itu pergi menghadap Khalifah Utsman bin Affan radhiyallohu ‘anhu. Sesampainya di depan pintu, sang penjaga menyambutnya dan membawanya masuk degnan menggandeng tangannya. Sayyidina Utsman radhiyallohu ‘anhu kemudian mendudukannya di permadani tipis di dekatnya dan kemudian bertanya kepadanya, “Apa hajatmu?”. Setelah menyebutkan semua hajatnya, Sayyidina Utsman radhiyallohu ‘anhu pun memenuhi permintaannya. Kemudian beliau radhiyallohu ‘anhu berkata, “Kenapa baru sekarang kau sampaikan hajatmu? Setiap kali kau butuhkan sesuatu, segerelah datang kemari”.
Ketika meninggalkan kediaman Sayyidina Utsman bin Affan radhiyallohu ‘anhu, lekali itu bertemu dengan Utsman bin Hunaif radhiyallohu ‘anhu.
“Semoga Allah membalas kebaikanmu. Sebelum engkau ceritakan perihalku kepadanya, beliau tidak pernah memperhatikan hajatku maupun memandangku”, ujar lelaki itu kepada Utsman bin Hunaif.
“Demi Allah, aku tidak mengatakan apapun kepadanya. Hanya saja aku menyaksikan seorang lelaki tuna netra datang menemui Rasulullah Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam mengeluhkan kebutuhannya…. (sampai akhir cerita seperti yang tersebut di atas).
Saudaraku, cerita di atas membuktikan bahwa para Sahabat Nabi juga bertawassul dengan Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam sepeninggal beliau Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam. Disamping itu, dalam Tafsir Ibnu Katsir juga diceritakan bahwa ada seorang Badui berziarah ke makam Nabi Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam dan berdoa di depan makan Nabi Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam dengan bertawassul dengan beliau Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam. Ini jelas membuktikan bahwa sepeninggal Nabi Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, para Sahabat Nabi  juga bertawassul dengan beliau Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam.
Tawassul Sayyidina Umar bin Khattab dengan Sayyidina Abbas Radhiyallohu ‘Anhuma
Dalam Shahih Bukhari, Anas bin Malik radhiyallohu ‘anhu menceritakan bahwa dahulu jika terjadi paceklik, Umar bin Khattab radhiyallohu ‘anhu meminta hujan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan bertawassul dengan Abbas bin Abdul Muthllib. Sayyidina Umar bin Khattab radhiyallohu ‘anhu berkata dalam doanya:

اَللّٰهُمَّ اِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِيْنَا وَاِنَّا نَتَوَسَّلُ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا

“Ya Allah, sesungguhnya dahulu ketika berdoa kepadamu kami bertawassul dengan NabiMu, Engkau pun menurunkan hujan kepada kami. Dan sekarang kami berdoa kepadaMu dengan bertawassul dengan paman Nabi kami, maka berilah kami hujan” (Hadits Riwayat Bukhari).
Tidak lama setelah itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan hujan kepada mereka semua.
Hadits di atas menyebutkan dengan jelas bahwa Sayyidina Umar bin Khattab radhiyallohu ‘anhu bertawassul dengan Sayyidina Abbas radhiyallohu ‘anhu, paman Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam. Ada sebagian orang yang menggunakan atsar ini sebagai dalil bahwa tawassul dengan yang telah meninggal dunia tidak boleh, sebab Sayyidina Umar bertawassul dengan Sayyidina Abbas yang masih hidup. Pendapat seperti ini tidak tepat, sebab dalam kenyataannya, Rasulullah Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam sendiri mencontohkan kita untuk bertawassul dengan yang masih hidup maupun dengan mereka yang telah meninggal dunia. Begitu pula para Sahabat lainnya sebagaimana diceritakan tentang seorang tuna netra di masa pemerintahan Sayyidina Utsman bin Affan radhiyallohu ‘anhu. Lalu, apa maksud tawassul Sayyidina Umar dengan Sayyidina Abbas yang masih hidup? Tujuan beliau adalah untuk mengajarkan dan mencontohkan kepada semua Sahabat bahwa tawassul dengan selain Nabi adalah boleh dan dapat dilakukan. Beliau menunjuk Sayyidina Abbas adalah karena kedekatan beliau dengan Nabi Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam. Sayyidina Abbas radhiyallohu ‘anhu merupakan paman Nabi Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, ahli bait Rasulullah Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam.
Kesimpulan
Tawassul merupakan salah satu bentuk doa. Beberapa hadits di atas telah membuktikan bahwa tawassul denagn amal shaleh sendiri dan dengan orang lain yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal dunia, merupakan bagian dari ajaran Islam. Oleh karena itu, mari kita berhati-hati dan tidak menuduh seorang muslim telah berbuat syirik hanya karena bertawassul dengan mereka yang telah meninggal dunia.
Oleh: Sayyidil Habib Novel bin Muhammad Alaydrus, Pengasuh Majelis Ilmu dan Dzikir Ar-Raudhah Surakarta, dalam bukunya yang berjudul “Mana Dalilnya 1: Seputar Permasalahan Ziarah Kubur, Tawassul, dan Tahlil”, Cetakan XXIII, Maret 2008, Penerbit Taman Ilmu Surakarta.


Selasa, 05 Februari 2019

Keutamaan Ilmu

Keutamaan Ilmu dalam Ajaran Islam


Ilmu merupakan suatu kekayaan yang tak terganti, yang mana dikisahkan bahwasanaya Nabi Sulaiman AS ditawari oleh Allah SWT 3 hal; Ilmu, Tahta, atau Harta. Kemudian Nabi Sulaiman dengan tegasnya memilih ilmu dari ketiga tawaran tersebut.

Lalu pada akhirnya Allah SWT menganeugerahi beliau harta maupun tahta, yang mana kita ketagaui sendiri bahwa Nabi Sulaiman merupakan orang yang sangat kaya raya, dan tak perlu dipertanyakan lagi tahta beliau, beliau memimpin sebuah kerajaan yang sangat besar dan rakyatnya pun bukan hanya dari golongan manusia saja, akan tetapi dari golongan malaikat, juga golongan binatang, bahkan sampai golongan jin pun tunduk dibawah kepemimpinannya.

Dan juga Nabi Sulaiman dianugerahi oleh Allah swt pendamping hidup yang sangat cantik, yang sangat menawan , dan juga sangat elok peringainya yang merupakan seorang Ratu dari Kerajaan Sabar di negeri Yaman yang bernama Ratu Bilqis.

Perlu kita ketahui kawan, bahwasanya apa yang dipilih oleh Nabi Sulaiman pada awalnya adalah Ilmu, apa yang dimintanya adalah Ilmu, dan apa yang dicarinya pun adalah ilmu sehingga beliau mendapatkan semua kenikmatan-kenikmatan tersebut.

Sebagaimana Allah telah memerintahkan didalam Al-Quran:

وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
Dan katakanlah,‘Wahai Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu.” (QS. Thaaha: 114)
Didalam Kitab Sucinya Quran, Allah SWT memerintahkan untuk meminta ilmu kepadanya, bukan meminta harta maupun tahta, ini menunjukkan bahwasanya ilmu mempunyai kedudukan yang sangat tinggi derajatnya.
Sampai-sampai Rosulullah SAW menegaskan didalam haditsnya:

أُطْلُبُوْا العِلْمَ وَلَوْ بِالصِّيْنِ
"Carilah ilmu walaupun ke negeri cina"



Kenapa Rosullah memerintahkan kita untuk menuntut ilmu sampai jauh-jauh sekali di negeri cina, Rosul memberitahukan bahwa mencari ilmu itu tidak pandang jarak, tidak melihat daerah, dimana pun ada ilmu "TUNTULAH!!!". Sebagaimana pepatah arab berkata "Ilmu tetaplah ilmu walau disampaikan dari mulut anjing".



Telah disebutkan bahwasanya ibadah yang paling mulia ialah "MENUNTUT ILMU", Kenapa? karena disana terkandung banyak sekali fadhilah dan manfaat, akan tetapi sayang seribu sayang para pejuang muda kita banyak yang bermalas-malasan dalam hal menuntut ilmu sehingga terperosoknya dan terkucilnya Islam saat ini, sebagaimana bertolak belakang dengan Islam yang ketika Zaman Bani Abbasiah yakni Islam berhasil mengontrol dunia dan banyaknya cendekiawan islam dan banyak pemikir-pemikir yang berasal dari islam. Disamping itu, para pemuda di negeri paman sam maupun di benua biru yang jauh disana, mereka mempunyai semangat yang menggebu-gebu dalam menuntut ilmu. Oleh karena itu kita harus berjuang dalam mencerdaskan kehidupan bangsa sampai Islam menjadi pedoman di seluruh penjuru dunia.

Diceritakan oleh Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz (Ayahanda Habib Umar bin Hafidz), beliau berujar : "Habib Abdullah bin Umar As-Syatiriy (Mudir Rubath Tarim) semasa belajarnya di Mekkah tidak tidur lebih dari 2 Jam setiap harinya. Dan Beliau belajar kepada para gurunya dalam satu hari satu malam yaitu sebanyak 13 mata pelajaran dan masih menelaahi semua pelajaran itu setiap harinya". Ini merupakan jiwa seorang penuntut ilmu yang sejati, mengorbankan segalanya demi cita-cita yang agung, sebagaimana perumpaan pemancing apabila berkeinginan mendapatkan ikan yang besar maka tidak mungkin memakai cacing, akan tetapi memakai ikan yang lebih kecil. Begitulah, apabila ingin mendapatkan yang besar maka jangan korbankan yang kecil melainkan korbankan yang besar agar mendapatkan yang lebih besar.
Jiwa seorang pejuang ilmu harus sama-sama kita tiru sebagaimana para pendahulu kita yang sampai berhasil menguasai dunia berkat kemanjuan dan keluasan ilmu yang meraka punya.


Ceramah-ceramah tentang keutamaan menuntut ilmu:

Habib Ali bin Hasan Baharun;

Habib Jamal bin Toha Baagil